Mimpi Hari Ini Adalah Kenyataan Esok Hari---------------------. Kita Adalah Da'i Sebelum Menjadi Apapun------------. Jangan Pernah Lelah sampai Kelelahan Itu sendiri Kelelahan Mengejarmu----------------

Selasa, 22 Februari 2011

Ibn Khaldun Angkat Wong Ndeso

Ibn Khaldun Angkat Wong Ndeso
Oleh: Teguh Estro


Dalam bukunya Muqaddimah, Ibn Khaldun mengungkapkan mengenai tradisi hidup Wong Ndeso. Namun dalam redaksinya, bapak Sosiolog Islam ini menggunakan istilah ‘orang Badui’. Yakni, mereka yang bermukim jauh dari kemewahan kota-kota besar. Mereka yang hidup bergantung dan bergelut pada alam (di arab tentu saja hidup di gurun). Ibnu Khaldun menganalisis bahwa penduduk desa adalah basis dari penduduk kota. Artinya tradisi dan peradaban ala Wong Ndeso telah lebih dulu ada tinimbang penduduk kota.

Salah satu catatan dalam buku Muqaddimah mengatakan bahwasannya Wong Ndeso lebih memiliki keberanian alami daripada orang kota. Mereka terbiasa hidup di alam tanpa ada tembok tinggi mengelilingi ‘gubug’nya, tanpa ada body guard yang mengawalnya. Kebiasaan mempertahankan diri dengan kekuatan dan persenjataan sendiri itulah yang memupuk jiwa keberanian secara alami. Sehingga wajar jika ada Wong Ndeso yang terbiasa keluar masuk hutan di tengah malam hanya bermodalkan seonggok parang (pisau panjang) saja. Karena memang sejak kecil, mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan primer dari alam. Dan sebaliknya, Ibn Khaldun mewanti-wanti para penduduk kota agar jangan terlena dengan kemewahan. Pasalanya hidup serba instan yang dijalani masyarakat kota justru perlahan membunuh keteguhan jiwa mereka. Bayangkan saja mulai dari urusan perut, mereka telah menggunakan jasa cathering, langsung santap. Selanjutnya sandang yang dipakai sehari-hari di kerjakan oleh jasa laundry. Hingga dalam urusan keamanan, masyarakat kota khususnya penghuni komplek-komplek dan apartemen, menyerahkannya pada security bayaran untuk menjaga 24 jam. Pramilo tidak heran jika insan perkotaan lebih ‘lembek’ jiwanya dalam menghadapi keganasan hidup.

Ibnu Khaldun juga memaparkan mengenai tabiat alami wong Ndeso. Mereka lebih mudah dalam menerima nasihat kebaikan. Hal tersebut lantaran adanya tradisi ‘nggak neko-neko’ dalam melangkah. Kalau memang masyarakat menganggap baik mengenai suatu urusan, ya sudah jalankan saja. Namun hal yang berbeda jika kita lirik mengenai watak masyarakat perkotaan. Sejak kecil, penduduk kota telah mengenal banyak referensi penyimpangan-penyimpangan sosial. Dan alam bawah sadar mereka cenderung memberikan ‘label kelaziman’ akan banyaknya deviasi sosial. Sehingga mereka sudah tidak begitu menghormati lagi adanya nasihat-nasihat agar berlaku sesuai norma. Apalagi masyarakat kota pun tidak jarang nyambi sebagai pelaku kejahatan. Sebut saja kaum miskin kota, mereka dipaksa memilih jalan hidup antara pengemis, pengamen nyambi sebagai pencopet jalanan. Pun sama halnya orang ‘terlanjur kaya’ di perkotaan. Mereka lebih memiliki kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk mencicipi dunia kejahatan. Lantaran fasilitas untuk perjudian, korupsi hingga prostitusi mampu mereka jangkau dengan pembayaran yang cukup.

Senin, 21 Februari 2011

Nonton Berita TV, Sempitkan Pandangan


Jebulle bag. 2
Nonton Berita TV, Sempitkan Pandangan
Oleh: Teguh Estro

            Soekarno mungkin dulu sempat di sebut-sebut sebagai guru bangsa paling berpengaruh di Indonesia. Ketika beliau orasi, semua pendengar tertegun dan terkesima. Setiap ia berkata, maka mulai dari pejabat hingga wong cilik meng-iya-kan saja. Namun, kini Soekarno telah redup pengaruhnya sebagai guru bangsa. Pasalnya di era informasi ini, justru televisilah yang menjadi guru bangsa terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Lihat saja, sejak jam 6 pagi masyarakat Indonesia telah dicekoki dengan informasi-informasi dari siaran berita. Mulai dari penculikan, kebakaran, kerusuhan, pemerkosaan hingga sambutan-sambutan pejabat negara. Dan lucunya sang penonton hanya melongo saja sambil manggut-manggut mengiyakan isi beritanya. Begitupun pada siang harinya, sore, hingga malam hari, bangsa ini kembali disuguhi informasi-informasi dari chanel TV yang cuma itu-itu saja.
            Suguhan informasi yang ditayangkan tanpa jeda akan membuat penonton kehilangan daya analisisnya. Bayangkan saja belum sempat penonton menganalisis berita yang satu, telah muncul lagi berita lainnya. Padahal tidak sedikit berita-berita yang disampaiakan adalah tayangan kontroversial. Dan dikarenakan penayangannya terlalu cepat, maka terpaksa penonton mengambil kesimpulan yang telah diarahkan oleh redaksi berita. Sehingga wajar jika otak manusia yang terbiasa menonton berita TV cenderung lambat dalam menganalisis informasi. Tumpulnya sifat kritis ini menyebabkan para penggemar berita televisi terjebak pada sempitnya pandangan. Ia cenderung hanya memiliki cara pandangan persis seperti apa yang disampaikan sang pembawa berita. Apalagi kita ketahui bersama bahwa hampir setiap siaran berita merupakan ‘berita titipan’ dari para pemilik industri televisi. Mereka ‘nitip’ pemberitaan yang menguntungkan partainya, ormasnya dan  kepentingannya. Dan akhirnya lengkap sudah kejumudan orang-orang yang mengais informasi hanya dari televisi saja.
            Tradisi menonton berita dari televisi sebenarnya tidaklah sepenuhnya salah. Karena mau tidak mau di era globalisasi ini manusia haus akan informasi. Namun yang terpenting adalah jangan sampai kita mengambil kesimpulan akhir tepat satu detik setelah berita selesai. Apalagi jika menonton berita dari TV justru melupakan tradisi berdiskusi antar sesama. Karena berdialog dan berdiskusi bisa menambah referensi cara pandang terhadap suatu masalah. Sehingga masyarakat tidak jumud pada persoalan bangsa. Dan masyarakat tidak gampang terprovokasi pada berita-berita kontroversial seperti belakangan ini.
            Sudah saatnya masyarakat, apalagi mahasiswa bisa memfungsikan berita TV bukan sebagai sumber utama, namun sebagai referensi pembantu saja. Karena sangat berbeda dengan berita jika tersampaikan melalui media cetak. Pada media cetak, pembaca bisa berkesempatan menganalisis berita secara mendalam. Karena teks berita terpampang di hadapannya secara komplit dan bisa dibaca berulang-ulang sembari berdiskusi dengan teman. Dan alangkah lebih baiknya jika para pecandu berita TV bisa memiliki forum-forum diskusi baik di angkringan maupun di millis dunia maya. Harapannya agar penyakit ‘sempit pandangan’ masyarakat Indonesia bisa terobati perlahan-lahan.

Minggu, 20 Februari 2011

Menanti Sekolah Murah

Menanti Sekolah Murah

Oleh: Teguh Eko Sutrisno
(diterbitkan di Harian Jogja selasa, 09 maret 2010)

Setiap anak bangsa memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran. Tidak peduli anak kota maupun yang tinggal di pelosok desa. Semua berhak menjadi orang hebat, cerdas dan berdaya guna. Karena untuk memuluskan pembangunan adalah dengan mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu. Sedangkan jalan yang paling logis adalah melalui optimalisasi akses pendidikan.

Salah satu penghambat akses pendidikan adalah mahalnya ongkos bangku sekolah. Mengingat sebagian besar negara Indonesia dihuni oleh warga miskin, baik di kota apalagi di pedesaan. Jangankan mengurusi biaya sekolah, untuk memenuhi urusan dapur saja harus berjuang siang dan malam. Alhasil, bocah-bocah sekolahan banyak yang minder lantaran belum melunasi biaya gedung yang selangit. Belum lagi beban uang SPP, duit ekstrakulikuler sampai mahalnya dana kursus yang mencekik, memang kejam. Hidup menjadi anak miskin sungguh mesakno jika harus dipaksa sekolah. Kisah si miskin ini sebenarnya sudah ada sejak masa londo dulu di nusantara. Hanya anak priyayi, keturunan ningrat dan orang-orang belanda saja yang bisa menikmati sentuhan pendidikan. Selebihnya, mereka ikut mencari nafkah bersama orang tua untuk mencari sesuap sego jagung.

Teringat film laskar pelangi, sebuah sekolah di pedalaman yang harus berjuang mempertahankan sepuluh murid hebat dengan biaya semurah-murahnya. Pasalnya, bu Mus percaya akan kemampuan hebat laskar pelangi kendatipun mereka anak miskin. Lintang anak nelayan yang jauh dari berkecukupan memiliki semangat belajar yang hebat. Setidaknya kisah tersebut membuktikan bahwa, bocah-bocah miskin juga bernyali profesor. Sangatlah disayangkan jika nafsu belajar mereka harus terbenturkan oleh persoalan rupiah. Penulis begitu yakin tidak mungkin ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan anak bangsa di jalanan sebab tak mampu sekolah. Bukankah amanah konstitusi republik ini menuturkan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak. Atau jangan-jangan undang-undang tersebut sudah diamandemen ? Mungkin sekarang bunyinya sudah berubah menjadi “…. Setiap warga negara yang kaya saja berhak mendapatkan pendidikan yang layak….”
Jalan panjang menjadi manusia pintar di negeri ini memang berliku-liku. Setelah berhenti sejenak menarik nafas dari cekikan biaya sekolah, ternyata biaya kuliah sudah menunggu untuk ganti mencekik. Kampus-kampus favorit sebenarnya terkenal bukan karena hebatnya, tapi mahalnya. Anak seorang petani mungkinkah bisa berstatus mahasiswa? Atau anak nelayan menjadi ketua BEM kampus, mimpi! Silahkan menangis menanti sekolah yang tak kunjung murah. Sepertinya sudah bosan menuntut kepada pemerintah. Sekarang yang ada hanya kepasarahan si fakir menatap gerbang sekolah. Lagi-lagi mereka harus berpuasa dari nikmatya ilmu pengetahuan.

Indonesia adalah negara yang pernah hebat di masa lalu. Sudah saatnya sejarah gemilang sejak kerajaan Majapahit sampai heroiknya angkatan 45 menjadi semangat untuk bangkit. Salah satunya membangkitkan dunia pendidikan yang selalu di ujung tanduk. Kalau dulu nenek moyang nusantara berjuang mengusir penjajah, kini anak-cucu mereka siap untuk berjuang menuntaskan persoalan sekolah mahal. Perjuangan itu bukan sekedar melalui iklan-iklan sekolah gratis di televisi yang tak tahu bagaimana implementasinya, namanya juga iklan.

Terkait 20 persen anggaran pendidikan sebenarnya sudah usang untuk menagihnya kepada bapak-bapak pejabat. Langsung saja, sebenarnya anggaran untuk pendidikan itu ada atau tidak sih? Pasalnya tidak sedikit sekolah atau kampus yang ‘nakal’ mengomersilkan institusinya. Mungkin ini karena kucuran dana dari pusat yang tak kunjung turun. Kalaupun ada, pasti sudah disunat di sana-sini. Kolektifitas peran pemerintah dan para guru sebenarnya sangat vital dalam menuntaskan problem ini. Semisal pemerintah memberikan layanan infrastruktur pendidikan yang murah, sedangkan guru harus berani membentuk anak didik layaknya manusia hebat.

Sekolah swasta menjamin tingginya kualitas sekaligus tingginya ongkos belajar. Jika dana masuk sekolah saja menghabiskan rupiah sampai lima juta. Bagaimana mungkin bisa menampung anak-anak miskin, secerdas apapun mereka. Sepakat, bila biaya sekolah wajib untuk digratiskan. Dan tentu saja apresiasi positif terhadap beberapa provinsi di Indonesia untuk memasang tarif nol rupiah terhadap biaya sekolah.

Ideologi Narsisme SBY

Ideologi Narsisme SBY
Oleh: Teguh Estro*
Penampilan Tegap, berwibawa dan sedikit ganteng membuat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi figur yang perfect dipandang mata. Sang Arjuna, ya SBY bisa dijuluki sang Arjuna tatkala ‘nampang’ di media. Anggukan kepala teriringi ayunan tangan yang khas menjadi citra tersendiri bagi Presiden RI ini. Mungkin anak-anak muda suka menggunakan istilah kata ‘lebay’ jika mengomentari perform ketua dewan pembina partai Demokrat ini. Tutur bahasanya juga tersusun rapi dengan grammer yang apik.

Model pencitraan ala ‘pak BY’ ini mulai pamor di tengah-tengah menggeliatnya era media. Seorang kepala negara harus menjaga ketenarannya dengan tampil sempurna di depan kamera. Pasalnya pasca bergulirnya era kebebasan pers membuat pena para jurnalis bisa bebas menyiarkan apapun, termasuk gerak-gerik presiden. Jika sedikit saja SBY berbuat ulah tentu saja akan menjadi makanan empuk para redaktur dari berbagai institusi pers. Lihat saja bagaimana sang pimpinan republik ini tatkala menyampaikan pidato-pidatonya. Selalu mengutarakan berhasilnya kinerja kabinet pemerintahan. Majunya program-program para menterinya. Pun dalam beberapa kasus, sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak mengutarakan keberpihakannya. Semisal dalam kasus Bibit-Chandra, Skandal Century hingga ulah si Gayus. Entah disengaja atau tidak, ia kerap kali menyampaikan “Biarlah hukum yang menyelesaikannya”. Padahal pada masa itu ketegasan seorang pucuk pimpinan pemerintahan sangatlah dibutuhkan. Namun SBY tak jua bertindak, hingga akhirnya rakyat muak dengan sendirinya terhadap ‘Sinema’ kasus yang ada di media. Dan perkara tersebut kian terbengkalai tak jelas endingnya dalam hukum. Mengutip ucapan Bondan Prakoso “ Ya sudahlah…”

Ketampanan Presiden ke enam RI ini sungguh mampu menghipnotis rakyatnya. Berhasil atau tidaknya kinerja pemerintah selalu bisa dibungkus dengan manis oleh tutur kata. Bahkan mantan petinggi TNI tersebut kerapkali mengungkapkan posisinya sebagai pihak yang tertindas. Semisal pada masa presiden Megawati, SBY ‘sengaja’ keluar dari kabinet gotong royong. Dan publik dengan mudahnya mengasihani mantan Menkopolkam tersebut sebagai petinggi yang tertindas oleh Megawati. Akhirnya dengan modal citra sebagai orang yang tertindas, ia mampu meroket hingga menjadi pimpinan lembaga eksekutif Republik Indonesia. Jurus yang serupa juga digunakannya tatkala booming kasus terorisme bom kuningan dan bom hotel Marriot. SBY kembali memasang mimik muka melaske sembari menunjukkan foto wajah tampannya. Terpampang dalam foto tersebut wajahnya yang menjadi sasaran latih tembak para teroris. Dan lagi-lagi masyarakat bersimpati kepada orang nomor wahid di negara kesatuan ini. Karena telah muncul brand baru lagi, dirinya sebagai pihak yang harus dibela dan dilindungi dari para teroris.

Persoalannya apakah pola komunikasi publik yang dipertontonkan oleh SBY tersebut pantas dipertahankan. Semisal saat di daerah-daerah tengah bergiliran mendapatkan bencana alam. Para petinggi Istana negara hanya mengucapkan “Kami turut berduka cita”, Setelah itu selesai. Bantuan bencana barulah datang setelah setelah para korban mati kelaparan karena berhari-hari di tenda pengungsian tanpa makanan. Sedangkan pejabat pusat sibuk dalam rapat kabinet membahas berapa jumlah bantuan yang harus disumbangkan. Pun hal yang menyedihkan saat terjadi kerusuhan, cekcok antar warga, perang antar suku. Dengan santainya muncul kalimat “Kami menghimbau warga untuk menjaga perdamaian bla bla bla” setelah itu selesai. Seolah tugas duduk di kursi kepresidenan itu hanya asyik memberikan himbauan agar rakyatnya baik-baik saja. Sedangkan perselisihan antar suku, ras dan agama tetap memanas di daerah-daerah. Dan masih segar di telinga rakyat saat SBY ‘curhat’ soal gajinya yang tak kunjung naik selama tujuh tahun terakhir.

Hal sepele yang kadang terlupakan adalah adanya instruksi yang tegas dari pemimpin untuk menyelesaikan masalah. Berani mengambil resiko atas setiap keputusan yang diambil. Termasuk berani untuk tidak tersohor dengan mengutamakan hal-hal yang prioritas. Karena seringkali SBY lebih memilih bersikap terhadap isu-isu yang populis dan strategis saja. Sedangkan permasalahan rakyat yang butuh solusi cepat entah kemana. Ya itulah politik citra, politik ‘narsisme’ yang harus dikoreksi ulang.

Namun terlepas dari itu semua, SBY bukanlah sosok yang tanpa prestasi. Keberaniannya memberantas korupsi di kalangan elit pemerintahan pantas untuk diacungi jempol. Tentu saja di masa kabinet Indonesia bersatu inilah ada para menteri yang berskandal lantaran korupsi. Apalagi anggota dewan, tentu banyak yang terseret ke meja hijau. Dan akhirnya putra daerah kelahiran Pacitan Jawa Timur ini tetap kita harapkan. Semoga dalam kepemimpinannya di KIB jilid II ini bisa lebih baik. Salah satunya dengan lebih memikirkan solusi cepat untuk masalah bangsa. Bukan sekedar memikirkan citra pribadi di mata media.

Kembalikan Musik pada ‘Khittoh’nya

Kembalikan Musik pada ‘Khittoh’nya
Oleh: Teguh Estro*

            Hampir setiap hari, jagad musik Indonesia terus bermunculan lagu-lagu baru. Bukan hanya itu band-band anyar pun kian ramai ‘nampang’ di televisi. Belum selesai menikmati lagu cinta, muncul lagu rindu kemudian disusul lagi lagu-lagu patah hati. Ada yang berteriak penuh semangat mengajak ‘bercinta’ lewat lagunya. Ada juga yang sedih mengajak ‘bunuh diri’ lewat musiknya. Bahkan kini popular hits yang “Baru Kenalan, Langsung Ngajak Tidur”. Begitu asyiknya sampai-sampai anak kecilpun dengan bangga melafadzkan istilah “Cinta Satu Malam”.

            Dunia tarik suara memang menjanjikan ketersohoran yang menggiurkan. Siapa saja asal cantik, seksi dan bisa mengeluarkan suara maka bisa saja melejit menjadi penyanyi papan atas. Karena belakangan ini kualitas suara bisa dikatakan telah ternomorduakan. Bagaimana tidak terkenal, jika penyanyi sudah mulai berani tampil ‘buka-bukaan’ ditambah goyangan pinggul nan asoy dan suara sedikit mendesah-basah. Dan parahnya lagu yang dibawakan pun tidak jauh-jauh dari penampilannya. Terkadang lagu ‘Belah Duren’, ‘Keong Racun’ hingga ‘Mahluk Tuhan Paling Seksi’. Dan para balita hingga tetua hanya asyik menikmati di layar kaca tanpa merasa berdosa.

            Adakalanya saat bulan ramadhan datang, lagu-lagu religius berjubel di mana-mana. Dan stempel lagu religi begitu mudahnya didapatkan. Asalkan sudah disisipi kata ‘Tuhan’, ‘Tobat’ atau ‘Doa’ maka dengan gampangnya disejajarkan dengan sebutan musik religi. Entah penyanyinya siapa, liriknya seperti apa dan videonya berbentuk apa, yang penting religi dan laris di pasaran. Dan ketika bulan suci selesai, maka kembali lagi pada tradisi lama. Ya, kalau tidak lagu cinta mungkin lagu rindu, patah hati, sakit hati hingga sakit gigi.

            fenomena ini berawal dari satu ideologi, yakni ideologi kapitalis para musisi. Mereka hanya mencari untung semata, popularitas dan kesenangan. Para pencipta lagu tak sedikitpun terbesit, bahwasannya lagu tersebut ditujukan untuk membentuk karakter pribadi bangsa. Maka yang dijadikan taruhannya adalah watak pribadi masyarakat Indonesia sendiri. Jika seharian pelajar  dijejali dengan lagu-lagu ‘cengeng’ putus cinta, maka rusaklah generasi bangsa. Belum lagi para balita yang kian mahir menyanyi dan berjoget ala trio macan. Suram sudah harapan bangsa ini karena para penyair sudah ikut meracuni anak negeri. Prinsipnya adalah lagu bisa laris dan digemari banyak fans. Ujung-ujungnya biaya sponsor untuk manggung meningkat.

            Kata berikutnya adalah ideologi hedonisme yang ditularkan para musisi. Gaya hidup penuh pernak-pernik mewah. Pun demikian dengan pergaulan yang bebas. Begitu juga dengan dunia gemerlap sudah menjadi jajanan harian para penyanyi. Sebuah grup band tentu akan menjadi panutan ratusan bahkan jutaan fans nya. Gaya rambut baru, model pakaian, hingga gaya bicaranya pun diikuti semua. Ternyata selain melantunkan syair nan indah, musisi juga mengajarkan gaya hidup kepada bangsa ini.

            Ideologi berikutnya yakni pesimisme yang disuntikkan melalui lagu-lagu ‘cengeng’nya. Hampir semua lagu yang dibawakan membawa kisah yang sama. Seorang yang jatuh cinta hingga tergila-gila setiap harinya. Adalagi cerita seorang yang cemburu buta dengan kekasihnya yang kawin tiga. Bahkan mengisahkan seorang yang hidupnya hancur lantaran patah hati dikhianati bla bla bla. Walaupun dibungkus dengan lirik yang berbeda-beda tetap saja isinya itu-itu juga.
            Dunia musik idealnya bukanlah sekedar hiburan semata. Semisal lirik lagu yang disampaikan olah bang haji Roma Irama. Hampir sebagian besar lirik lagunya adalah karya hebat untuk membentuk pribadi yang baik. Sebut saja lagu ‘Judi’, ‘MIRASANTIKA’ dan masih banyak lagi. Panggung dangdut pun dijadikan lahan menebar kebaikan. Dengan gayanya yang khas, sang raja dangdut ini pun tidak kalah soal penampilannya yang sopan di layar kaca. Pun demikian dengan kritik sosialnya Iwan Fals. Di setiap tembangnya, ia menyadarkan sang penguasa untuk tidak bertindak semena-mena.
            Akhirnya, melalui petikan gitar, lantunan piano, ‘betot’an bass dan merdunya vokal, kita sebenarnya bisa membangun karakter bangsa. Sudah saatnya lagu-lagu bernada ‘cengeng’ yang tengah merebak sekarang bisa segera berubah. Semisal heroisme Nasionalisme yang kian menurun saat ini bisa digugah kembali melalui musik.

Pelajaran Sejarah Dihapus Saja

Pelajaran Sejarah Dihapus Saja
Oleh: Teguh Estro*


            Betapa muaknya para siswa tatkala bel berbunyi dan memasuki pelajaran sejarah di kelas. Pasalnya mereka kudu mencatat dan menghapal kejadian di masa lalu yang tidak tahu apakah dulu benar-benar pernah terjadi. Belum lagi harus mengingat semua tanggal dan tahun setiap peristiwa yang membosankan tersebut. Bukan itu saja catatan buku sejarah yang tebal itu setiap tahunnya pasti akan bertambah jumlah peristiwanya. Dan lengkap sudah kejenuhan para siswa saat bertemu dengan guru sejarah yang selalu ‘ceramah’ dan mebosankan. Maka patutlah dipertanyakan untuk apa mata pelajaran sejarah tetap dipertahankan. Segera hapus saja, daripada menambah beban anak didik di dunia sekolah.

            Bung Karno pernah berpesan “JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Pesan sang proklamator ini sangat layak untuk digali. Idealnya dengan mempelajari sejarah, seorang manusia mampu mengambil pelajaran yang melimpah dari kejayaan bangsa di masa lalu. Sekaligus bisa mengambil pelajaran agar tidak tergelincir dua kali dalam kekeliruan umat manusia di masa lalu. Namun jebule pelajaran sejarah hanya terjebak pada hafalan ansich. Semisal dalam pembahasan sejarah perang kemerdekaan. Siswa dipaksa menghafal nama-nama lokasi peperangan, tanggal, tahun, nama jenderal belanda, jumlah prajurit sampai jumlah korban perang. Lantas untuk apa menghafal itu semua? Contoh lain dalam pembahasan sejarah Perang Dunia. Mau tidak mau, siswa terpaksa menghafal lagi nama-nama perjanjian, lokasi peperangan, jumlah negara, hingga tokoh-tokoh peperangan beserta gelar-gelarnya. Dan bisa dijamin setelah ujian selesai, maka hafalan akan musnah begitu saja. Maka yang patut dipertanyakan apa manfaat belajar sejarah bagi anak bangsa?

            Sejarah hidup manusia bukanlah sekedar kumpulan tulisan yang hanya berguna menjelang ujian nasional saja. Jejak rekam seseorang, apalagi dia tokoh besar tentu bisa menjadi inspirasi bagi insan lainnya. Seumpama jenderal Sudirman yang menjadi inspirasi bagi banyak pahlawan lainnya. Maka yang harus dipelajari adalah motivasi dahsyat apa yang ada di dada seorang ‘Sudirman’ hingga ia berjuang begitu gigih. Seorang pemuda cengkring namun punya keberanian dan kecerdasan strategi perang yang hebat. walau hidup dalam pesakitan hingga akhir hayatnya, namun jiwa pengorbanannya tetap menggelora. Dan tahap selanjutnya mampukah pemuda di zaman sekarang meminjam semangat dari seorang ‘Dirman Muda’ di masa lalu. Toh, secara fisik, kita dan beliau tidaklah berbeda. Justru pemuda di zaman sekarang jauh lebih sehat dan bugar dibandingkan Jenderal Sudirman. Sudahkah kita ‘menyumbangkan’ keringat dan darah pengorbanan bagi bangsa ini seperti beliau dulu? Sudahkah kita berjuang untuk negara ini hingga tubuh kurus kering dan sakit-sakitan? Idealnya dengan membaca lembaran sejarah hidup seorang tokoh sehebat Sudirman mampu membakar semangat kebangsaan kita. Namun realitanya para anak didik justru muntah dengan bertumpuknya hafalan-hafalan tentang Sudirman. Siapa bapaknya, ibunya dimana lahirnya, siapa pacarnya, dan hafalan-hafalan konyol lainnya.

            Haruskah tradisi pelajaran sejarah terus identik dengan pelajaran membosankan. Jangan sampai generasi yang akan datang mengeluhkan hal yang serupa. Sudah saatnya meletakkan sejarah pada tempatnya di dalam dunia pendidikan. Penulis sangat merindukan adanya ekstrakulikuler di sekolah-sekolah yang konsen membedah hikmah di balik sejarah umat manusia. Bukan hanya itu hingga dilakukan penelitian tentang kebenaran teks-teks tertulis yang telah berbentuk buku pelajaran sejarah saat ini.

            Seorang penngajar sejarah juga begitu urgent untuk disoroti. Bagaimana mungkin seorang siswa bisa bersemangat belajar sejarah jika pengajarnya begitu konservatif. Terkadang tugas seorang guru sejarah hanyalah datang mengabsen kelas, lantas memberikan catatan berlembar-lembar, lalu mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan selesai pulang. para siswa tidak diberikan kesempatan untuk berpikir “kenapa kami harus mempelajari ini..?” dan tehnik yang disampaikanpun lagi-lagi hanya ‘parade ceramah’ di depan siswa. Sudah saatnya seorang guru mampu menjelaskan kenapa harus menengok sejarah sebagai mata pelajaran penting. Bagaimana seorang guru mampu mentransformasikan semangat pelaku sejarah di masa lalu dan ditularkan dalam konteks kekinian. Pun berkaitan metode pengajaran, sudah saatnya digunakan metode selain ‘ceramah’ dan Hafalan. Bisa dengan melakukan studi tokoh, study tour ke museum dan  masih banyak lagi. Setidaknya menampilkan kesan bahwa di balik lembaran kertas sejarah, terdapat pelajaran hidup yang beragam hikmahnya. Selamat mengajar sejarah…!

Arab Bergejolak, Amerika Siapkan Boneka

Arab Bergejolak, Amerika Siapkan Boneka
Oleh: Teguh Estro

            Tunisia telah mengawali, disusul rakyat Mesir berhasil gulingkan Husni Mubarok. Berikutnya Yaman, Iran, Maroko, Libya dan Oman siap menuntut hal serupa. Kini rakyat arab tengah mengalami kemuncak Euforianya. Tak ayal pemberitaan akan timur-tengah selalu diracik dalam bingkai Revolusi. Namun analisis kita jangan sampai berhenti sampai selugu itu. Bukankah selama ini yang begitu berkepentingan akan gejolak di negeri-negeri kilang minyak adalah Amerika. Mungkin sulit untuk membuktikan kalau Amerika menjadi dalang atas panasnya konstelasi politik di tanah arab. Namun boleh jadi kini Barrack Obama tengah menyiapkan negara boneka pasca termakzulkannya raja-raja arab.
            Media massa mencoba mengarahkan masyarakat dunia pada satu kesimpulan.  Bahwasannya semua kemelut penggulingan pemerintah di tanah arab sengaja dikesankan murni sebagai gerakan rakyat seperti halnya Mesir, padahal tidak....! Coba kita amati keganjilan pada kerusuhan yang terjadi di Iran dan Libya. Alangkah lucunya jika tudingan korupsi ditujukan pada Ahmadinejad. Pun demikian dengan Muammar Qaddafi di Libya aneh jika akan digulingkan lantaran menjadi antek-antek Amerika. Boleh jadi momentum kebangkitan rakyat di Arab tengah dimanfaatkan oleh ‘oposisi bayaran’ untuk menggulingkan Ahmadinejad dan Qaddafi. Pasalnya dua negara tersebut adalah negara yang paling sulit untuk ‘disetir’ oleh pemerintahan gedung putih.
            Salajengipun, masih ada lagi keganjilan dalam skenario revolusi negara-negara Arab. Pertanyaannya, kenapa di Saudi Arabia, Iraq dan Afghanistan adem ayem saja. Jawabannya sederhana, lantaran mereka sudah menjadi negara boneka Amerika. Dan negeri paman sam itu tak mau capek-capek membuat oposisi bayaran lagi. Sekarang Barrack Obama tinggal menambah koleksi negara bonekanya di timur-tengah. Dan saat ini adalah momentum yang tepat untuk menggoyang pemimpin-pemimpin arab, terutama Iran dan Libya.

Jumat, 18 Februari 2011

Televisi dan Pembodohan Massal

Jebulle (bag. 1)
Televisi dan Pembodohan Massal
Oleh: Teguh Estro

Siapa sangka kini televisi telah menjadi ‘monster’ yang membahayakan. Sajian tontonan yang tersaji kian menyesatkan alam bawah sadar pemirsa. Ada banyak efek negatif televisi yang bisa membuat penonton ‘lumpuh’ otaknya. Mulai dari otak kanan, otak kiri hingga otak reptil manusia. Jika kelumpuhan tersebut telah akut maka bisa mempengaruhi perilaku yang menyimpang. Dan di sisi lain televisi juga telah menebar ancaman sebuah budaya baru bagi peradaban manusia. Maka dari itu bisa dikatakan hadirnya televisi adalah kejahatan yang bersifat laten. Hampir di semua program yang ada di televisi memiliki tehnik sendiri dalam mempengaruhi alam bawah sadar manusia. Mulai dari pengaturan artis yang tampil, manajemen jam tayang hingga metode penyampaian pesan yang bersifat brain destroy. Pertanyaanya adakah konspirasi di balik penyetingan agenda media ini…?

Baiklah, coba kita mulai dari yang paling mendesak untuk dijelaskan. Memang secara fisik televisi terlihat hanya menyajikan suara dan gambar yang bergerak saja. Dan kesemuanya tampak normal-normal saja tanpa ada sesuatu yang harus dicurigai. Namun hati-hatilah, ada satu hal yang terlupakan yang menjadi datangnya marabahaya. Bahwasannya suara dan gambar yang tersajikan tersebut tertangkap oleh indra manusia. antara lain indera penglihatan dan indera pendengaran yang memiliki hubungan kepada otak melalui jaringan saraf. Dan perlu diketahui bahwa otak manusia adalah perekam memori yang paling ‘lugu’. Sehingga seberapapun informasi yang masuk, akan tertampung tanpa filter.

Jaringan saraf mampu menghantarkan pesan suara dan gambar dari televisi menuju otak dengan begitu cepat dibawah hitungan detik. Sehingga hampir mustahil otak manusia bisa memfilter pesan yang datang begitu cepat. Masalahnya bagaimana jika pesan yang diterima berupa tayangan buruk. Dan jujur saja, saat ini messages yang tertampilkan dari TV hampir kesemuanya dalam status ‘WASPADA’ lantaran berdampak negatif. Bayangkan saja jika tayangan buruk di televisi muncul dalam waktu yang lama dan terus-menerus. Sehingga wajar jika alam bawah sadar manusia menganggap ‘Lazim’ norma yang menyimpang.

Begitu banyak program televisi yang bisa kita amati. Semisal program sinetron yang sangat memprihatinkan. Hampir semua sinema di Indonesia memiliki alur cerita yang mirip-mirip dan sangat kacangan alias ora mutu. Dan tampaknya sengaja memang diulang-ulang sampai penonton hafal ceritanya. Kesengajaan ini bukanlah tidak memiliki tujuan. Tidak lain kesemuanya bermaksud untuk penanaman nilai baru di kalangan masyarakat. Tidakkah kita sadar, kenapa sinetron-sinetron selalu menampilkan gadis seksi nan glamour. Entah dia berperan sebagai antagonis maupun protogonis. Begitu juga kenapa setting ceritanya kebanyakan di rumah mewah. Dan dalam alur ceritanya seolah disetting agar sering muncul percek-cokan mulut, perkataan kasar dalam keluarga. Bahkan seorang anak kecil yang membentak orang tua seolah biasa dalam sinetron. Nah, hal itulah yang dimaksudkan dengan penanaman nilai baru di masyarakat. Karena dilakukan secara perlahan dan terus-menerus, wajar saja bila banyak pemirsa yang tak sadar telah termakan racun TV. Seandainya gejala semacam ini hanya ada dalam satu sinetron saja maka itu bisa masih bisa diatasi. Namun anehnya hampir di semua channel Televisi menawarkan sinetron-sinetron ‘jahat’. Harapannya dengan pengulangan sinetron-sinetron ‘jahat’ itu masyarkat bisa mentolerir penyimpangan. Lihat saja saat ini para wanita muda berpakaian minim bukan lagi hal yang tabu. Bahkan para orang tua zaman sekarang sudah hilang kepekaannya terhadap perilaku tersebut. Atau jangan-jangan para orang tua pun telah menjadi korban televisi.

Sinetron-sinetron ‘jahat’ juga telah mengkampanyekan budaya syahwat secara perlahan. Berawal sejak menentukan tokoh protagonis (tokoh/peran sbg org baik). Tampaknya terdapat unsur kesengajaan dalam mengambil peran protogonis dari artis yang berlabel ‘artis panas’. Sebut saja Dewi persik, Julia perez, Cinta laura ataupun Luna maya. Tujuannya adalah agar mereka menjadi idola baru yang layak dijadikan panutan. Sehingga sejelek apapun perilaku sang idola di luar layar bisa dijadikan gaya hidup baru untuk diikuti.

Bersambung……..

Selasa, 08 Februari 2011

Mengurai Konflik ISLAM DAN BARAT

oleh: Syahida Utami

Sebab-sebab terjadinya berbagai bentuk konflik antara Islam dan Kristen tidak berada dalam kerangka fenomena perubahan, sebagaimana dapat dillihat dalam ‘semangat kristen’ atatu ‘fundamentalisme Islam’ abad XX, namun bermuara pada dua agama dan peradaban yang mendasarinya. Konflik di satu pihak disebabkan adanya perbedaan konsep Islam, terutama yang menyangkut pandangan hidup dan menyatukan antara agama dengan politik versus konsep Kristen yang memisahkan anatara Tuhan dengan Kaisar. Namun konflik tersebut juga disebabkan adanya kesesuain antara keduanya. Islam maupun Kristen sama-sama agama yang tidak dengan mudah menerima keberadaan “tuhan-tuhan” . kedua agama ini sama-sama bersifat universalistic dan masing-masing menyatakan diri sebagai agama yang benar serta harus diikuti oleh seluruh umat manusia. Keduanya merupaka agama yang mewaibkan para penganutnya mengajak orang-orang yang tidak beragama menganut satu-satunya agama yang paling benar. Pada awalnya, Islam disebarkan melalui penakhlukkan, dan ketika meperoleh kesempatan, Kristen pun juga begitu. Konsep yang parallel antara “jihad” dan “perang salib” tidak hanya menggantikan satu sama lain, tapi juga mencirikan kedua agama tersebut yang dibedakan dari agama-agama besar lainnya.

Tingkat konflik antara Islam dengan Barat (Kristen) senantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologi, dan intensitas keagamaan. Terdapat berbagai factor yang menjadi penyebab terjadi konflik antara Islam dan Barat (kristen) pada akhir abad XX :

1.pertama, pertumbuhan penduduk Muslim yang begitu pesat
2.kedua, kebangkitan Islam memberikan keyakinan baru di kalangan umat Islam terhadap watak dan keluhuran peradaban serta nilai-nilai yang mereka miliki dibandingkan peradaban serta niali-nilai Barat.
3.Upaya-upaya barat yang simultan untuk memprobagandakan nilai-nilai dan institusi mereka, mempertahankan superioritas kekuatan militer dan ekonomi mereka, serta intervensi mereka terhadap berbagai konflik yang terjadi di dunia Islam menimbulkan “sakit hati” di kalangan umat Islam.
4.runtuhnya komunisme menjadi sebab timbulnya keyakinan akan adanya musuh bersama antar Islam dan Barat dan melupakan musuhan masa lalu.
5.terjadinya hubungan dan percampuran antara orang-orang Islam dengan Barat menstimulasi munculnya rasa identitas keduanya dan bagaimana membedakan antara satu dengan yang lain.

Reformasi Gerakan Reformasi

Menyoal Konflik Horizontal Antar Gerakan
Oleh: Teguh Estro

Nabiyullah Musa a.s salah satu sosok reformis yang menjadi aktor sentral penggulingan fir’aun. Namun setelah Fir’aun tenggelam problem justru muncul di tengah kaum (itu) sendiri, adalah konflik horizontal di kalangan Bani Israil. Reformasi yang diharapkan terjadi pada bani Israil sungguh jauh panggang daripada api. Ilustrasi ini seolah menjadi de javu bagi bangsa Indonesia.

Reformasi (taghyir) sebagai salah satu ajaran Islam yang belum terpahami secara kontekstual dalam upaya perbaikan umat. Sebelas tahun lalu bangsa Indonesia mencoba reformasi total pemerintah otoriter Soeharto. Namun hingga sang jenderal cendana itu ‘berpulang’, perjuangan reformasi tak kunjung menorehkan hasil. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat ’98 kini sekedar menjadi catatan sejarah. Persoalan supremasi hukum, pemberantasan KKN hingga reformasi di bidang ekonomi dan politik. Semua tuntutan itu kian terlupakan seiring surutnya ghiroh gerakan reformasi dalam satu dekade belakangan ini.

Fenomena aksi pemakzulan Soeharto itu telah menjadi fase sejarah yang begitu penting dan strategis. Namun sayang proses bergulirnya sejarah ‘98 itu tidak diiringi oleh cantiknya desain dalam mengisi kekosongan pasca gerakan reformasi. Parahnya justru berbagai elemen yang tergabung dalam barisan perjuangan sebelas tahun lalu terjebak dalam konflik horizontal. Keretakan ini bukan hanya membuat koruptor bertepuk tangan, namun lebih memberikan efek pada kelesuan gerakan reformasi. Di tengah vacuum moving gerakan –terutama- mahasiswa, beban berat bertambah seiring merebaknya kultur barat dan hedonisme pada kalangan pemuda.

Kompleksitas problem ini menuntut mahasiswa untuk benar-benar teguh, pintar dan kreatif dalam menjaga idealisme gerakannya. Salah satu masalah terbesar bagi gerakan mahasiswa adalah ketika mereka kehilangan sensitivitas atas penyakit-penyakit bangsa. Dimanakah kepekaan mahasiswa ketika ada korupsi triliunan rupiah, namun di tempat lain warga sidoharjo terus menagih uang ganti rugi atas rumah mereka yang terendam lumpur. Anehnya justru gerakan mahasiswa masih terjebak dalam ‘pertarungan’ antar ideologi.

Salah satu jalan untuk mengembalikan darah juang reformasi adalah dengan mereform gerakan reformasi. Mahasiswa harus menjadi transformator spirit gerakan. Mengubah pola gerakan yang bukan hanya aksi jalanan secara kuantitas, namun lebih pada proses pemanjaan nalar sensitif mahasiswa. Mengubah alur reformasi dengan bermula dari arah transenden menuju perbaikan bangsa. Mengubah kultur hedonisme menuju massifitas ruang-ruang dialetika. Mengubah tindakan anarkis menjadi gerakan moderat dan elegan. Inilah mahasiswa yang akan berjuang melakukan reformasi mulai dari dirinya sendiri

JOGJAKU MENANGIS

oleh: Nuha Rifkia

Selasa, 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus menghancurkan pemukiman di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Tepat pada tanggal 5 November 2010 dini hari, Merapi kembali meletus. Kali ini lentusannya lebih dahsyat daripada sebelumnya. Merapi telah meluluh-lantahkan pemukiman warga hingga radius 16 km dari gunung merapi. Rumah warga terbakar, pepohonan kering kecoklatan, dan seluruh permukaan tanah tertutup oleh lapisan abu vulkanik yang tebal.

Di Posko pengungsian, seorang anak laki-laki berumur 5 tahun berlari-lari ketakutan mengelilingi stadion tempat pengungsian. Dia terus berteriak minta tolong dan memanggil-manggil orang tuanya. Setiap relawan berusaha mengejar dan menenangkannya. Namun, hal itu tak berhasil membuatnya diam. Setiap orang yang ada di sekitarnya tampak seperti gulungan awan panas yang mengejarnya menimbulkan rasa takut dalam hati. Dia masih trauma atas cekaman rasa takut semalam.

Ia hanya bisa menangis ketakutan. Ayah dan ibunya entah ada di mana. Ia sebatang kara di sini. Ia tak mengenali sekitarnya. Dalam fikirannya masih tergambar dengan jelas gulungan awan panas yang menyapu desanya dan telah membakar rumahnya. Malam itu, ia berlari bersama ibunya. Ayahnya sedang berbalik arah menolong kakaknya yang terjatuh. Namun, naas mereka tak tertolong, terpanggang panasnya awan panas yang menerpa mereka. Beberapa menit kemudian, sang ibu melepas pegangan tangannya. Sosok ibu setengah baya ini, merasakan sesak nafas karena terlalu banyak menghirup debu Merapi.

Masih terngiang dalam ingatannya, detik-detik terakhir bersama ibunya. Ibu berteriak dengan suaranya yang serak, “lari..! lari yang kencang..!”, sedangkan tubuhnya tersungkur di atas tanah menahan rasa sakit di dadanya. Sang anak berlari kebingungan tak tahu kemana ia harus berlari? Hingga, seseorang menggandeng tangannya dan menyelamatkannya.

Kisah ini merupakan sekelumit kisah di antara kisah-kisah sedih pada malam meletusnya Gunung Merapi. Beribu-ribu manusia telah kehilangan tempat tinggal, harta benda, ternak, hingga sanak saudara juga hangus di lahap awan panas merapi. Setiap warga yang tinggal di radius 0-16 km dari Gunung Merapi terancam keselamatannya. Mereka sangatlah membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita. Sudahkah terketuk pintu hatimu untuk membantu?

Bencana Merapi di Yogyakarta dan sekitarnya tidak hanya melenyapkan harta benda dan menyebabkan sakit/cacat fisik bagi warga. Secara psikologis, jiwa mereka juga sangat tertekan. Tekanan demi tekanan telah banyak mengakibatkan gangguan psikologi para pengungsi. Tak jarang dari warga yang mengungsi mengalami depresi bahkan ada pula yang mengalami kegilaan.

Semua di balik bencana ini menjadi sebuah bahan refleksi bagi kita. Andaikan kita berada pada posisi mereka, apa yang bisa kita perbuat? Kondisi terluka, nyawa terancam keselamatannya, tak punya harta, bahkan sesuap nasipun tak ada dalam genggaman. Kondisi seperti ini sangatlah memprihatinkan. Tak ada lagi yang mereka butuhkan selain uluran tangan kita. Tak ada yang bisa sedikit mengurangi kesedihan mereka kecuali rasa simpati dan empati dari kita.
Menjadi seorang relawan merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Bukan sekedar membantu dengan suka rela dan tulus ikhlas, kadang kala nyawa juga menjadi taruhannya. Tak jarang ada beberapa relawan yang tewas terkena awan panas saat evakuasi korban Merapi.

Relawan bukanlah sekedar ajang mencari pahala dengan membantu sesama. Sebagai seorang muslim, relawan bisa bersifat sebagai ajang dakwah. Di saat kondisi psikologi pengungsi yang tertekan dan terancam, siraman rohani dan seruan untuk bertawakal kepada Allah sangatlah mereka butuhkan. Siraman rohani dan senantiasa berserah diri pada Allah akan dapat menenangkan hati dan fikiran para pengungsi. Ketenangan hati dan fikiran dapat meringankan tingkat kesetresan dan membantu menemukan hikmah di balik bencana alam ini.

Sebagai seorang muslim, orang muslim yang lain adalah saudara kita. Persaudaraan sesama muslim ibaratnya sebuah tubuh. Jika salah satu bagian tubuh terluka, bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit juga. Bahkan kadang kala badan akan merasakan panas dan mata tak henti-hentinya menitikkan air mata. Sudahkah kita merasakan kepedihan yang dirasakan saudara kita?

Rosulullah bersabda dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan, bahwa seorang hamba belum dikatakan mukmin jika ia belum mencintai tetangganya/saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Bagi kita seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan RosulNya, kita wajib mencintai sesama muslim seperti kita mencitai diri kita sendiri, menolong mereka di saat membutuhkan pertolongan, menghibur mereka di saat kesusahan.

Revolusi Mesir, Revolusi Rakyat.

Oleh: Teguh Eko Sutrisno*

Husni Mubarok harus turun sekarang juga. Itulah jeritan jutaan rakyat Mesir agar sang diktator hengkang dari tampuk kepemimpinan. Lebih dari 30 tahun berkuasa, mantan jenderal angkatan udara itu hanya menjadi tirani. Korupsi kian merajalela diiringi kemiskinan yang menjadi pesakitan rakyat di bumi para nabi itu. Bahkan kekayaan Husni Mubarok telah mencapai lebih dari 300 T rupiah. Belum lagi kekayaan anaknya Gamal mubarok yang mencapai lebih dari 100 T rupiah. Sebuah angka yang sangat menyakitkan hati jika dibandingkan dengan angka 40% rakyat yang berstatus miskin.

Lapangan Tahrir di Kairo menjadi saksi kebrutalan militer terhadap pejuang revolusi. Begitupun yang terjadi di Nasher City, Alexandria, Suez dan kota-kota besar lainnya. Jutaan masa sejak 25 Januari lalu telah berbulat tekad untuk memakzulkan Husni Mubarok. Masa demonstran yang berasal dari berbagai kalangan berkumpul-riuh mengekspresikan puncak kekesalannya. Berawal dari diblokirnya situs jejaring sosial ‘Facebook’ dan ’Twitter’ oleh pemerintah. Kemarahan warga mulai tersulut. Puncaknya hingga jaringan telekomunikasi dan layanan perbankan juga terputus.

Krisis di Mesir saat ini sebenarnya hanyalah kemuncak dari kekecewaan berbagai kalangan. Ada dua hal penyebab utama terjadinya pergolakan revolusi Mesir saat ini. Sebab pertama adalah alasan permukaan, yakni kemiskinan yang mencapai level terparah namun jajaran penguasa justru asyik bertindak korup. Bagaikan rumput kering yang terkena percikan api, rakyat Mesir mudah sekali terbakar nalurinya untuk memberontak. Karena urusan perut tidak bisa menunggu lama. Hal serupa juga menjadi penyebab utama pergolakan revolusi yang terjadi di Tunisia, Yaman dan Oman.

Penyebab kedua dari pergolakan revolusi Mesir adalah pemerintahan yang tidak demokratis. Berapa banyak para tokoh yang bersuara lantang lalu dipenjara hanya karena mengkritik pemerintah. Bahkan melalui kekuasaannya Husni Mubarok memberangus lawan-lawan politiknya di parlemen dengan menjadi kekuatan politik terbesar. Seolah mewarisi pendahulunya, Presiden yang berkiblat ke barat ini juga melakukan determinasi pada ormas-ormas Islam di sana. Sebut saja kekuatan oposisi besar Ikhwanul Muslimin yang terus mengalami luka di sepanjang sejarah oleh penguasa. Sejak masa ketokohan Hasan al-banna dan Sayyid Quthb, anggota-anggota Ikhwanul Muslimin layaknya hewan buruan yang harus dibunuh dan dipenjara. Begitupun dengan tokoh lainnya bahkan yang bersebrangan ideologi sekalipun. Seperti tokoh-tokoh dari partai sosialis yang sulit berbicara lantang mengkritik penguasa. Sehingga revolusi mesir di awal tahun 2011 ini seolah mendai momentum bagi oposisi pemerintahan untuk bersikap nyata. Apapun ideologinya, mereka bersama turun ke jalan meneriakkan “Mubarok Turun”. Sampai saat ini Husni Mubarok yang telah bertolak ke luar negeri tak kunjung berniat lengser dari kekuasaannya. Bahkan ia baru akan mengundurkan diri pasca PEMILU bulan September 2011. Kian sulit saja perjuangan Revolusi rakyat Mesir. Apalagi Militer Angkatan Udara sangatlah setia pada sang Tiran Mubarok.

Pergolakan konstelasi politik di timur tengah ini kian memicu kekhawatiran dunia. pasalnya selama ini Mesir di bawah kepemimpinan Husni Mubarok begitu dekat dengan negara-negara barat. Bahkan biaya militer di negeri seribu menara itu adalah bantuan dari Washington D.C. Hal ini tentu karena adanya kepentingan negara adidaya tersebut dalam perpolitikan Mesir. Apalah jadinya muka Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya jika semenanjung sungai Nil dikuasai oleh oposisi pemerintah. Akankah pasca mubarok akan muncul pemimpin yang berkiblat kepada Amerika ataukah justru menentang kebijakan militer gedung putih.

Israel sebagai salah satu sekutu Mesir betul-betul menjadi negara yang sangat tertekan. Menteri luar negeri Israel mencoba meyakinkan negara-negara Uni Eropa bahwa Mubarok harus tetap berkuasa. Pasalnya selama ini Husni Mubaroklah yang menjadi pendukung kedaulatan Israel saat berkonflik dengan Palestina. Sehingga boleh jadi Israel adalah negara yang paling berkepentingan terhadap misteri masa depan kepemimpinan Mesir. Ada beberapa nama yang muncul selain Gamal Mubarok ‘The Son’ yang telah disiapkan oleh Husni Mubarok. Sebut saja Omar Sulaiman yang selama ini menjadi tangan kanannya ataukah el-Baradai yang menjadi pemimpin gerakan oposisi saat ini. Semua teka-teki ini akan terjawab seiring perjuangan para demonstran yang telah mengeluarkan ultimatum agar Mubarok turun sampai 4 Februari 2011.

Surat Untuk Demonstran

Oleh: Syaiful Hamid Ontro

Beberapa waktu yang lalu marak terjadi aksi demonstrasi yang digelar oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa dan masyarakat umum. Mereka menuntut agar segera dituntaskannya kasus bank Century lantaran diduga melibatkan banyak petinggi di negeri ini. Termasuk wakil presiden Budiono dan menteri keuangan Sri Mulyani itu.
Aksi demonstrasi terjadi tidak hanya di Jakarta, namun juga diberbagai daerah di Indonesia. Dalam sistem pemerintahan demokratis, masyarakat memang boleh menyuarakan pendapatnya dengan berbagai cara termasuk salah satunya dengan melakukan demonstrasi. Namun yang perlu disayangkan adalah mengapa dalam aksi tersebut sering terkotori dengan anarkisme jalanan. Semisal, Kejadian di Jakarta beberapa waktu lalu. Para massa demonstran meluapkan kekesalan mereka dengan melempar batu dan menghabisi fasilitas-fasilitas umum tanpa kompromi. Halaman depan Gedung DPR RI tak ubahnya ring gulat bagi masa aksi. Padahal tujuan utama dari aksi tersebut untuk meyuarakan kebenaran, bukan untuk merusak. Apalagi sampai mengganggu aktivitas warga.

Hal serupa terjadi di Makasar. Sekelompok mahasiswa malah terlibat bentrok dengan aparat dan juga warga sekitar yang merasa terganggu aktivitasnya karena ulah para demonstran. Sangat aneh jika niat untuk membela kebenaran dan membela rakyat malah membuat rakyat jengkel. Maka yang diperlukan adalah kearifan para teman-teman mahasiswa dalam menyurakan pendapat. Jangan hanya mudah terprovokasi oleh hal-hal yang menyababkan gesekan. Akibat dari perilaku anarkis para mahasiswa tersebut, alih-alih mendapat simpati dari masyarakat yang ada hanyalah anggapan mereka terhadap para aktivis yang negatif. Mereka (baca: masyarakat) mungkin akan menilai bahwa para aktivis mahasiswa merupakan kumpulan mahasiswa beringas yang ‘doyan’ rusuh. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya kepada kita untuk membela hak-hak mereka.
Mahasiwa merupakan kumpulan manusia-manusia yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Mahasiswa bukanlah preman yang menyelesaikan masalah hanya dengan otot, tapi dengan cara-cara yang beradab. Banyak cara yang dapat dilakukan agar setiap aksi yang digelar mendapat perhatian publik. Misalnya dengan menggelar aksi teatrikal yang di dalamnya menggambarkan keadaan yang ingin dirubah. Namun jangan hanya mahasiswa yang dipersalahkan, tapi juga harus melihat kepada aparat kaemanan yang bertugas. Apakah sudah sesuai prosedur atau belum dalam melakukan pengamanan. Aparat yang cenderung bertindak represif juga pastinya akan memicu terjadinya perlawanan yang berujung pada bentrokan.

Sinergitas antara demonstran dan aparat kepolisian juga diperlukan dalam menuntaskan fenomena ini. Harus ada rasa saling menjaga diantara kedua belah pihak. Aparat mungkin lebih bisa memberikan ruang gerak terhadap mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya. Dan juga mahasiswa agar juga memberikan timbal balik dengan cara menjaga ketertiban dalam setiap aksi. Peran ‘suci’ mahasiswa senyatanya kudu dibungkus dalam aksi yang lebih elegan dan efektif. Jika kaum intelektual saja bertingkah layaknya kaum jahili, maka jangan heran jika masyarakat awam justru tertawa geli.

Kekerasan bukan suatu jalan dalam menyelesaikan masalah di negeri ini. Kekerasan hanya akan menambah keterpurukan bagi bangsa. Ingat, ibu pertiwi telah begitu lama menyimpan luka. Jangan sampai luka itu bertambah hanya karena nafsu angkara murka. Demokrasi tak akan pernah ditegakkan di negeri ini hanya dengan kekerasan tapi diperlukan kedewasaan dan juga persatuan.

Mahasiswa [K]Udu Bangsa Kera

Oleh: Teguh Estro*

“...Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!”

Manusia berasal dari bangsa kera ! Kesimpulan yang kejam itu tertuang dalam pemikiran kaum Darwinisme ribuan tahun lalu. Mereka berpendapat antara kera dan manusia sama-sama berasal dari jenis phrymata. Manusia merupakan bagian dari proses Evolusi bangsa phrymatha. Hal tersebut ditandai dengan perubahan volume otak, bentuk rahang, tinggi kerangka, hingga perubahan pola hidup. Tentu saja hal tersebut menyulut amarah banyak umat manusia. Siapa sih yang mau disamakan dengan mahluk berekor panjang nan berbulu lebat tersebut. Lihat saja betapa ‘cakep’nya Karim Benzema (bintang Real Madrid FC) tentu saja tidak akan mau disamakan dengan seekor kera.

Salah satu dari sekian banyak kelebihan manusia dibandingkan kera adalah kemampuan Nalar kritis manusia. Masih ingatkah bagaimana ‘cerewet’nya Ibrahim a.s ketika masih kecil. ia bertanya kenapa harus menyembah patung yang dibuat oleh bapaknya sendiri. Ia bertanya-tanya dimana Tuhannya. Dan sampai saat ini belum ada kera semodern apapun yang pernah mempertanyakan siapa Tuhannya. Atau setidaknya mempertanyakan kenapa kera selalu makan pisang. Kalaupun ada mungkin itu hanya ada di Film ataupun Sinetron.

Kaum Filosof sering mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Mungkin secara sederhana bisa saja seperti itu. Maksudnya secara fisik manusia dan hewan memiliki beberapa kesamaan. Karena manusia juga memiliki dimensi ke-binatang-an. Yakni hasrat untuk bertahan hidup, mencari makan, sakit, reproduksi dll. Dan sekali lagi hal mendasar yang membedakan antara manusia dan hewan adalah Nalar kritis mereka, kemampuan berpikir brilian. Jadi kemungkinan yang disebut oleh mas Darwin sebagai keturunan kera itu adalah mereka yang kehilangan nalar kritisnya. Karena terkadang manusia justru terjebak dalam rutinitas yang juga merupakan rutinitas yang dilakukan kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan, tidur, berkembang biak dan berkelahi cakar-cakaran. Kera tidak akan pernah mendapat gelar pemikir apalagi cinta akan ilmu pengetahuan.

Mahasiswa, nah sekarang kita membicarakan mahasiswa. Dalam tradisi mahasiswa ada yang disebut dengan mimbar diskusi. Dimana mahasiswa dipersilahkan untuk mengemukakan aspirasinya. Biasanya di dalam kelas mahasiswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi ilmiah sebebas-bebasnya. Walaupun masih ada juga beberapa dosen yang masih memaksakan pendapat mereka, menjejali mahasiswa dengan hafalan-hafalan dan teori-teori yang tidak implementatif. Sehingga wajar jika beberapa mahasiswa ada yang ‘gelisah’ (baca: tidak puas) dengan apa yang mereka dapat di kelas. Itulah mahasiswa, ia tidak pernah puas dengan ilmu pengetahuan, selalu ingin tahu dan resah jika ada sesuatu yang mengganjal dari ilmu yang ia pelajari. Inilah yang membedakan Mahasiswa dan kera. Beda banget…!

Adakah mahasiswa yang sekaligus ‘kera jadi-jadian’ ? maksudnya, adakah Mahasiswa tetapi tetap saja melakukan rutinitas yang persis seperti kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan-makan. Mereka hanya asyik hunting jenis makanan dari satu warung ke warung yang lainnya. Atau ada juga mahasiswa yang hobi tawuran keroyokan persis sekali seperti kera kalau berkelahi cakar-cakaran. Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!

Siapapun diantara kita tidak ada satupun yang mau disamakan dengan kera. Siapapun pembaca yang budiman pasti sangat bangga disebut sebagai insan pecinta ilmu pengetahuan. Terutama di dunia kampus yang menjadi gudangnya teori-teori keilmuan. Maka carilah, ikatlah dan ajarkanlah ilmu yang ada. Maka berkoarlah sekencang mungkin di dalam kelas, maka jadilah aktivis handal di Organisasi. Maka berdiskusialah tentang apa saja, maka tanyakanlah tentang kenapa. Maka pintalah kepada Rabb agar bisa menjadi mahasiswa ‘tulen’ yang gila akan ilmu pengetahuan bukan menjadi kera jadi-jadian.

Kilas Balik Eksistensi Kaum Hedonis

oleh: Teguh Estro

Tentu kita masih ingat kiprah Qarun berikut kekayaannya nan melimpah. Harta yang dimilikinya justru menjadi bomerang bagi datangnya kepongahan. Sungguh tidaklah berlebihan jika ia menjadi ikon bersejarah kaum hedonis. Sosok yang hidup pada masa nabi Musa a.s ini berhasil memperkenalkan eksistensi kaum hedonis di masanya.
Hal serupa dilakukan kaum Munafiqin yang ikut perang uhud dalam barisan kaum muslimin. Sebagian pasukan pemanah terpesona dengan kilauan ghanimah (harta rampasan perang) sehingga meninggalkan pos-pos mereka di atas bukit. Terlepas dari menang atau tidaknya perang uhud, yang pasti perjuangan telah ternodai oleh ruh-ruh hedonisme.

Pada era pertengahan gelombang hedonisme justru datang dari negeri barat. Mulai dari gaya hidup, adat-istiadat, hingga pola pikir tidak terlepas dari sudut pandang keduniaan. Tatanan perilaku barat tersebut cepat atau lambat sampai juga ke dunia timur dan negeri kaum muslimin khususnya. Dan Orang –gila- pertama yang menyebarkan virus hedonis ini adalah para penjajah. Pasca perang dunia, umat Islam benar-benar habis diobok-obok oleh imperium barat. Mulai dari penjajahan fisik, pengerukan alam hingga pemaksaan budaya hedonis di daerah jajahan. Sebut saja di Indonesia

kebanggaan berlebihan terhadap ‘kompeni’ sebenarnya sudah ada seja masa penjajahan. Bukan hanya meniru gaya hedonisnya, akan tetapi sampai rela menjadi penghianat bangsa dan berpihak pada penjajah. Mereka itulah yang rela menjadi mata-mata penjajah hanya karena imbalan satu atau dua keping harta. Sungguh Hedonis….!

Pada masa post-modern ini kaum hedonis mengalami masa keemasannya. Dimana justru bibit pecinta dunia berkembang hebat di kalangan umat Islam sendiri. Anehnya lagi antar satu muslim dengan lainnya kian asyik menumpuk harta. Hingga kemuncaknya adalah keberadaan pengaruh hedonis ini telah diangap wajar dan diterima dengan baik tak ubahnya seorang raja di raja yang sakti mandraguna pengaruhnya.

PILKADA dan Pendidikan Politik


Oleh: Teguh Eko Sutrisno
            Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penentuan kepala pemerintahan. Begitupun Indonesia yang memang rutin mengagendakan PEMILU sejak tahun 1955 untuk memilih Presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun pesta demokrasi ini masih harus banyak berbenah, setidaknya Indonesia telah belajar dalam banyak kesalahan.
Sejak tahun 2004, negara dengan jumlah etnis terbanyak ini mulai mengenal istilah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Beberapa bulan ke depan PILKADA inilah yang akan menghiasi layar-layar publik. Hajatan demokrasi ini juga kian menggeliat di berbagai kabupaten  provinsi D.I Yogyakarta. Calon-calon pemimpin ada yang terang-terangan tampil, ada juga yang ‘malu-malu kucing’ memproklamirkan dirinya. Baik itu melalui baliho-baliho di jalan umum, via media cetak ataupun kampanye di televisi. Mudah-mudahan visi kinerja mereka secantik dan seganteng parasnya saat di iklan.
Pelajaran terpenting dari berbagai PILKADA di tanah air adalah maraknya berbagai anarkisme, kecurangan suara dan money politic. Sebagai kota pelajar, selayaknya bumi mataram ini ‘berpesta’ dengan cara terpelajar juga. Jangan sampai PILKADA justru lebih mengerikan daripada pertandingan sepakbola derby jogja yang penuh kekerasan. Seharusnya ajang demokrasi ini menjadi pertarungan program kerja yang betul-betul fair. Sehingga singgungan antara simpatisan yang berujung premanisme tidak terjadi lagi. Pun demikian dengan maraknya kecurangan suara. Calo-calo suara seolah menjadi profesi musiman saat agenda pesta rakyat berlangsung. Sungguh budaya tersebut tidak layak terjadi di kota budaya, Yogyakarta.
Lima kabupaten di DIY tengah siap siaga menyambut pesta demokrasi. Terutama daerah Mbantul dan Kota Yogyakarta yang tampak poster-poster calon kuatnya. Sebenarnya perkara menang atau kalah tidaklah begitu penting, hal yang perlu diperhatikan adalah proses demokrasinya. Dengan berjalannya proses PILKADA secara demokratis tentu saja bisa menjadikan masyarakat perlahan melek politik. Siapa calonnya, apa visi besarnya dan bagaimana track recordnya adalah perkara wajib untuk dikonsumsi warga Yogyakarta. Sehingga jargon-jargon ‘aneh’ tak lagi muncul, seperti “…seng penting duite endi…” atau“….nek arep dipiih, aku entuk piro….” Dll.
Komunikasi politik harus sejak dini dilakukan calon-calon pemimpin daerah. Pasalnya selama ini komunikasi politik seolah hanya milik kalangat elit saja. Sedangkan masyarakat bawah sekedar melakukan komunikasi politik pasif, itupun saat PEMILU tiba. Lancarnya pendidikan politik hanya terjadi jika pemimpin dan elit politik mau ‘turun’ langsung dan membaur bersama masyarakat bawah. Tentu saja, bukan hanya saat mendekati PILKADA saja. Tetapi setiap rakyat memiliki masalah, sebenarnya di sanalah peluang para elit politik untuk melakukan pendidikan politik. Bukan sekedar manis di iklan saja, tapi ujung-ujungnya korupsi juga.
Kontinuitas peran partai politik membersamai rakyat akan berdampak pada meningkatnya kesadaran politik. Sehingga pemilih benar-benar melakukan pemilihan, bukan sekedar dipaksa untuk memilih. Setidaknya  rakyat tahu siapa yang dipilih, ibarat anak yang tahu persis siapa bapaknya. Bukankah setelah terpilih nanti, para calon akan bertugas menjadi pelayan bagi masyarakat. Bagaimana mungkin terjadi pelayanan jika pemimpin tidak berbaur dengan rakyat, atau sebaliknya rakyat yang cuek terhadap pemimpinnya. Padahal nantinya pemimpin daerah sangatlah membutuhkan pasrtisipasi masyarakat dalam menyukseskan program-programnya. Jika selama ini paradigma rakyat yang selalu butuh uluran pemerintah, maka hal tersebut harus dibalik. Hubungan antara rakyat dan pemerintah adalah partner dalam membangun daerah. Konsep kesetaraan dalam relasi publik inilah yang mempercepat proses pemahaman masyarakat. Dan tentu saja kian mendidik rakyat dalam rangka pembangunan daerah.
Pendidikan politik bukan saja harus diajarkan kepada rakyat. Akan tetapi para aktivis partai politik pun kudu belajar bersama rakyat. Belajar dewasa menerima kekalahan, belajar tertib administrasi, belajar kampanye damai dan belajar memenangkan PILKADA dengan jujur. Haruskah kecurangan yang sama terjadi lagi dan lagi? Akankah ‘cakar-mencakar’ antar partai politik terus dibudayakan? Sebenarnya rakyat pun sudah bosan menonton tingkah elit politik di panggung demokrasi yang acak-acakan. Contoh ringan saja keributan saat konvoi kampanye, pembakarann bendera, penyobekan baliho bahkan tawur antar simpatisan. Kebebasan dalam demokrasi bukan berarti bebas menindas kontestan lainnya.
Yogyakarta bukanlah kota yang baru mengenal demokrasi. Bahkan pakar-pakar demokrasi banyak lahir di sini. Sehingga pemimpin yang akan maju ke pentas demokrasi pun seharusnya para intelektual-intelektual bermoral jebolan kota pelajar. Dan harapannya rakyat tidak begitu sulit menentukan pilihan untuk mencari pemimpin daerah berkualitas. Apapun partainya dan siapapun calonnya tentu harus mengutamakan karepe rakyat. Pasalnya rakyat selalu menjadi korban ulah ‘nakal’ para penguasa. Sudah saatnya wong cilik di Yogyakarta ini  merasakan kesejahteraan dari kepala daerah yang adil.
Partisipasi masyarakat tentu menjadi faktor yang paling penting. Saat ini pilihan untuk masyarakat bukan lagi memilih atau tidak. Akan tetapi benar-benar serius memilih antar Calon Pemimpin satu atau yang lainnya. Jika selama ini masyarakat banyak mengeluh dengan kinerja pejabat atas, ya salahnya sendiri. Kenapa pada saat ajang PILKADA tidak serius memilih pemimpinyang paling bagus. Semisal dengan melakukan kontrak politik ataupun sharing program. Bahkan masih ada saja person-person yang justru mengkampanyekan anti PILKADA. Entah karena kekecewaan yang berlebihan terhadap pemimpin yang lalu. Ataupun karena memang niatnya yang busuk untuk menolak demokrasi hingga ke daerah-daerah. Warga Yogyakarta sangat membutuhkan pemerintah yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menggalakkan tingkat pastisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.

Radikalisme dan Islamophobia

oleh: Maulana

Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya dan ekonomi di dunia ini. Tetapi dalam masa perang dingin, yang menjadi ruang pergunjingan di dunia ialah apa yang diistilahkan dengan radikalisme Islam.

Isu sentral dalam pergunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “Islam” yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk mendirikan “Negara Islam”. Arus informasi sedang dikendalikan dan dikontrol oleh barat dan sekutunya, guna menebarkan wabah Islamophobia diseluruh penjuru dunia dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan cara mem-blow up media yang berkaitan dengan aktifitas yang notabene kelompok Islam garis keras, yang ini digeneralisir bagi umat Islam pada umumnya.

Fenomena inilah sesungguhnya sudah banyak difahami oleh berbagai masyarakat muslimin. Tetapi banyak pula pihak yang merasa kebingungan dalam merespon berbagai fenomena tersebut, berhubung tumbuh suburnya mentalitas ketidak berdayaan serta rendah diri berhadapan dengan superioritas barat dan sukutunya.
Disadari atau tidak—bagi umat muslim pada umumnya—, Amerika dan sekutunya mengetahui orang Islam, apabila sudah bertekat untuk berjihad di jalam Allah, maka mereka tidak takut mati. Hal inilah yang menyebabkan Amerika dan sekutunya tidak berani perang fisik secara langsung, namun mereka akan memerangi umat muslim melalui jalur; sosial, budaya, ekonomi, politik maupun pemikiran.

Gerakan Islamo Phobia dan akibatnya
Faktor eksternalumat islam, ikt berpengaruh besar dalam menumbuh suburkan semangat radikal ekstrim di kalangan umat Islam. Diantara faktor eksternal tersebut ialah

gerakan Islamo Phobia yang melancarkan aksi de-islamisasi dengan pola sinergis:
1) Menjauhkan umat Islam dari ilmu agama dengan menyibukkan mereka di seputar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Seolah-olah belajar agama berartitidak belajar iptek dan belajar iptek berarti tidak belajar agama. Upaya yang demikian ini sangat strategis dalam menciptakan kondisi mengambang di kalangan umat Islam terhadap agama mereka.

2) Mengkondisikan pemerintah Negara-negara Islam untuk terus menerus curiga dan ketakutan dari ancaman “bahaya Islam”. Sehingga pemerintah selalu bertindak represif dalam memberangus aspirasi keagamaan umat Islam.

Dua pola gerakan tersebut bagaikan pupuk penyubur tumbuhnya gerakan-gerakan radikal ekstrim yang berlabel Islam. Sebab berbagai gerakan radikal ekstrim tersebut akan sangat laku dijual dikalnagn umat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dielimir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu agama. Berbagai ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah yang terus menerus mencurigai umat Islam akan menjadi isu pemicu semangat pelawanan umat Islam yang tidak dibimbing ilmu agama dengan model perlawanan yang radikal ekstrim tersebut.

Isu radikalisme Islam sesungguhnya bukanlah dari umat Islam, akan tetapi darisalah satu bentuk Islamo Phobia yang terus menerus dilancarkan Barat dalam rangka semangat perang salib dan imperialisme modern. Radikalisme bahkan diistilahkan bid’ah dholaalah (penyimpangan yang sesat). Oleh karena itu, pemerintah Negara-negara Islam hendaknya jangan terus menerus memerankan diri sebagai kuda tunggangan bagi berbagai kepentingan Barat yang salibis dan zionis itu.

Semangat mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, dengan tanpa mengurangi semangat mempelajari iptek, harus dibangkitkan dikalangan umat Islam untuk mengurangi tumbuhnya semangat radikalisme ekstrim.

MAHASISWA IDEAL




oleh: Nuha RifQia
Ada beberapa macam tipe mahasiswa yang ada dapat kita saksikan di kampus, misalnya mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa aktifis, mahasiswa 3K, dan lain-lain. Istilah mahasiswa ‘kupu-kupu’ sering disandangkan bagi mahasiswa yang kegiatan setiap harinya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Mahasiswa ini disebut juga dengan mahasiswa KPK alias mahasiswa yang rutinitasnya hanya kuliah-perpustakaan-kos.
Mahasiswa tipe ini lebih suka berfikir pragmatis dan study oriented. Mereka selalu berfikir bahwasanya dengan kuliah yang rajin, IPK tinggi, lulus cepat, akan memperoleh pekerjaan yang bagus dan prestasi yang cemerlang. Bagi mereka berorganisasi adalah suatu hal yang membuang-buang waktu. Kelebihan yang mereka miliki di banding dengan mahasiswa yang lain adalah rajin mengerjakan tugas, IPK selalu tinggi dan biasanya datang ke kampus paling awal. Namun, kekurangan mereka biasanya adalah kurang peka dengan keadaan sosial, kurang pengalaman, dan sulit memanajemen waktu yang dimiliki.
Istilah lainnya adalah 3K, yaitu Kos, Kantin, Kampus. Istilah-istilah seperti ini sering ditujukan bagi mahasiswa yang rutinitasnya hanya kuliah, tidur di kos, dan hobinya jalan-jalan ke mall, dan lain sebagainya. Mereka mayoritas berfikir bahwasanya masa kuliah adalah masa muda yang sangat asyik untuk bersenang-senang dan menikmati hidup. Kondisi ini didukung dengan keadaan kos atau kontrakan yang jauh dari orang tua, sehingga tampak tidak ada yang mengontrol kegiatan mereka sehari-hari. Mereka lebih bersifat hedonis dan biasanya merupakan mahasiswa golongan berada/ ‘borjuis’. Biasanya mereka bersifat royal, namun prestasi akademis mereka sering ‘pas-pasan’ dan ‘biasa-biasa aja’.
Istilah lainnya adalah mahasiswa aktifis. Mahasiswa tipe aktifis lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus organisasi. Bisanya mereka memiliki rasa sosial yang tinggi, memiliki kemampuan memanajemen waktu dan urusan-urusan, banyak relasi, bersikap supel dan pandai bergaul. Selain kelebihan, mereka juga memiliki kekurangan, yaitu kurang begitu peduli dengan akademisnya dan Indeks Prestasi (IPK) sering ‘NASAKOM’ alias ‘nasib satu koma(1,_)’ atau hanya cukup dua koma(2,_).
Lalu seperti apakah sosok mahasiswa yang ideal tersebut?
Kehidupan di kampus tidak hanya memiliki tujuan yang sesaat. Dunia kampus merupakan jembatan menuju kehidupan yang nyata di masyarakat. Begitu banyaknya permasalahan yang ada di masyarakat, membutuhkan peran kita sebagai ‘agent of change’ atau agen perubahan di masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah  tersebut. Penyelesaian masalah di dalam masyarakat sangat membutuhkan beberapa keahlian yang dapat kita peroleh di dunia kampus.
Keahlian-keahlian yang dapat kita peroleh di kampus dapat berupa keahlian yang bersifat akademis dan kemampuan sosial. Kemampuan akademis dapat kita asah dan kembangkan berdasarkan disiplin ilmu yang kita peroleh di perkuliahan. Sedangkan kemampuan sosial dapat kita kembangkan melalui pengembangan diri di dalam organisasi. Tidak selamanya berorganisasi itu buruk, tetapi dengan berorganisasi kita dapat mengasah kemampuan kita dalam manajerial diri, manajerial organisasi, manajerial waktu, dan lain sebagainya. Kemampuan-kemampuan ini tidak dapat kita peroleh hanya dengan mengikuti perkuliahan.
Sosok mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang tetap memperhatikan segi akademisnya tanpa mengesampingkan aktifitas berorganisasi. Dua kemampuan ini setidaknya harus tetap dimiliki oleh mahasiswa tanpa fanatis pada salah satu segi kemampuan saja. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis yang menyebutkan “khoirul umuuri awsathuhaa”, yaitu sebaik-baik perkara adalah pertengahannya atau sedang-sedang saja. So, would you like to be ideal student? ^_^


------------------------------------------------------------------------------------------------