Mimpi Hari Ini Adalah Kenyataan Esok Hari---------------------. Kita Adalah Da'i Sebelum Menjadi Apapun------------. Jangan Pernah Lelah sampai Kelelahan Itu sendiri Kelelahan Mengejarmu----------------

Selasa, 08 Februari 2011

JOGJAKU MENANGIS

oleh: Nuha Rifkia

Selasa, 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus menghancurkan pemukiman di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Tepat pada tanggal 5 November 2010 dini hari, Merapi kembali meletus. Kali ini lentusannya lebih dahsyat daripada sebelumnya. Merapi telah meluluh-lantahkan pemukiman warga hingga radius 16 km dari gunung merapi. Rumah warga terbakar, pepohonan kering kecoklatan, dan seluruh permukaan tanah tertutup oleh lapisan abu vulkanik yang tebal.

Di Posko pengungsian, seorang anak laki-laki berumur 5 tahun berlari-lari ketakutan mengelilingi stadion tempat pengungsian. Dia terus berteriak minta tolong dan memanggil-manggil orang tuanya. Setiap relawan berusaha mengejar dan menenangkannya. Namun, hal itu tak berhasil membuatnya diam. Setiap orang yang ada di sekitarnya tampak seperti gulungan awan panas yang mengejarnya menimbulkan rasa takut dalam hati. Dia masih trauma atas cekaman rasa takut semalam.

Ia hanya bisa menangis ketakutan. Ayah dan ibunya entah ada di mana. Ia sebatang kara di sini. Ia tak mengenali sekitarnya. Dalam fikirannya masih tergambar dengan jelas gulungan awan panas yang menyapu desanya dan telah membakar rumahnya. Malam itu, ia berlari bersama ibunya. Ayahnya sedang berbalik arah menolong kakaknya yang terjatuh. Namun, naas mereka tak tertolong, terpanggang panasnya awan panas yang menerpa mereka. Beberapa menit kemudian, sang ibu melepas pegangan tangannya. Sosok ibu setengah baya ini, merasakan sesak nafas karena terlalu banyak menghirup debu Merapi.

Masih terngiang dalam ingatannya, detik-detik terakhir bersama ibunya. Ibu berteriak dengan suaranya yang serak, “lari..! lari yang kencang..!”, sedangkan tubuhnya tersungkur di atas tanah menahan rasa sakit di dadanya. Sang anak berlari kebingungan tak tahu kemana ia harus berlari? Hingga, seseorang menggandeng tangannya dan menyelamatkannya.

Kisah ini merupakan sekelumit kisah di antara kisah-kisah sedih pada malam meletusnya Gunung Merapi. Beribu-ribu manusia telah kehilangan tempat tinggal, harta benda, ternak, hingga sanak saudara juga hangus di lahap awan panas merapi. Setiap warga yang tinggal di radius 0-16 km dari Gunung Merapi terancam keselamatannya. Mereka sangatlah membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita. Sudahkah terketuk pintu hatimu untuk membantu?

Bencana Merapi di Yogyakarta dan sekitarnya tidak hanya melenyapkan harta benda dan menyebabkan sakit/cacat fisik bagi warga. Secara psikologis, jiwa mereka juga sangat tertekan. Tekanan demi tekanan telah banyak mengakibatkan gangguan psikologi para pengungsi. Tak jarang dari warga yang mengungsi mengalami depresi bahkan ada pula yang mengalami kegilaan.

Semua di balik bencana ini menjadi sebuah bahan refleksi bagi kita. Andaikan kita berada pada posisi mereka, apa yang bisa kita perbuat? Kondisi terluka, nyawa terancam keselamatannya, tak punya harta, bahkan sesuap nasipun tak ada dalam genggaman. Kondisi seperti ini sangatlah memprihatinkan. Tak ada lagi yang mereka butuhkan selain uluran tangan kita. Tak ada yang bisa sedikit mengurangi kesedihan mereka kecuali rasa simpati dan empati dari kita.
Menjadi seorang relawan merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Bukan sekedar membantu dengan suka rela dan tulus ikhlas, kadang kala nyawa juga menjadi taruhannya. Tak jarang ada beberapa relawan yang tewas terkena awan panas saat evakuasi korban Merapi.

Relawan bukanlah sekedar ajang mencari pahala dengan membantu sesama. Sebagai seorang muslim, relawan bisa bersifat sebagai ajang dakwah. Di saat kondisi psikologi pengungsi yang tertekan dan terancam, siraman rohani dan seruan untuk bertawakal kepada Allah sangatlah mereka butuhkan. Siraman rohani dan senantiasa berserah diri pada Allah akan dapat menenangkan hati dan fikiran para pengungsi. Ketenangan hati dan fikiran dapat meringankan tingkat kesetresan dan membantu menemukan hikmah di balik bencana alam ini.

Sebagai seorang muslim, orang muslim yang lain adalah saudara kita. Persaudaraan sesama muslim ibaratnya sebuah tubuh. Jika salah satu bagian tubuh terluka, bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit juga. Bahkan kadang kala badan akan merasakan panas dan mata tak henti-hentinya menitikkan air mata. Sudahkah kita merasakan kepedihan yang dirasakan saudara kita?

Rosulullah bersabda dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan, bahwa seorang hamba belum dikatakan mukmin jika ia belum mencintai tetangganya/saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Bagi kita seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan RosulNya, kita wajib mencintai sesama muslim seperti kita mencitai diri kita sendiri, menolong mereka di saat membutuhkan pertolongan, menghibur mereka di saat kesusahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

------------------------------------------------------------------------------------------------